Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 25 Maret 2009

Golongan Putih





Golput, (golongan putih), golongan yang dengan sengaja tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu kontestan Pemilu. Mereka disebut "putih" tidak memilih warna kuning, merah, atau hijau. Juga karena golongan itu menyatakan pasifisme politik yang dilambangkan oleh warna putih. Tapi oleh banyak kalangan, alternatif Golput itu dianggap terlalu pasif. Sekaligus terlalu berisiko, apalagi jika ini ditubuhkan dalam bentuk organisasional karena akan dituding memboikot Pemilu. Karena kenyataan ini seperti inilah, orang banyak berpaling untuk mencari alternatif baru.

37 tahun silam, 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta tampak penuh dengan pengunjung. Tepat sebulan sebelum pemilu 1971 saat itu. Selang beberapa menit kemudian ruangan hening ketika Arief Budiman yang didampingi aktivis mahasiswa dan pemuda lainnya dengan lantang memproklamirkan sebuah gerakan moral sebagai sebuah tindakan protes mereka terhadap sistem yang ada saat itu. Gerakan moral itu mereka namakan dengan “Golongan Putih (Golput)”. Meski setelah itu 34 eksponen Golput ditahan penguasa, tapi wacana ini sudah menjadi isu yang terus dan terus bergulir hingga sekarang. Dan, menjelang hajatan akbar pemilu 2009 pun, isu ini tetap panas untuk dibicarakan

Kejadian puluhan tahun silam dipandang oleh banyak pengamat sebagai cikal bakal lahirnya gerakan golput yang intelektual. Hal ini didasarkan karena pada tahun 1955 pun Golput sudah muncul dalam ajang pemilu pertama negara ini saat itu, akan tetapi (konon) saat itu Golput lebih diartikan sebagai ketidaktahuan masyarakat tentang pemilu. Maka banyak diantara mereka yang tidak menggunakan hak politisnya saat itu. Dan, dari situlah angka Golput muncul. Golput intelektual bukanlah sebuah gerakan ecek-ecek seperti itu. Dan ini sebenarnya tidak bisa kita ukur, karena dalam sistem pemilu kita setiap suara yang tidak sah adalah Golput, termasuk yang ditusuk dengan puntung rokok sekalipun. Biasanya ciri gerakan ini adalah mereka sama sekali tidak mencoblos gambar partai manapun atau memang sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya (tidak datang sama sekali ke TPS). Arief budiman Cs telah membangkitkan gerakan ini, dan usungan mereka adalah Golput yang didasarkan pada suatu analisa bahwa sistem yang ada hanyalah sistem untuk menopang kekuasaan yang ada, sistem yang sengaja dikloning oleh penguasa untuk melanggengkan tirani mereka. Bahkan pernah diusulkan agar Golput disertakan sebagai perserta pemilu dengan lambang putih.


Banyak pendapat di kalangan masyarakat, bahwa pemilu di negara kita selama ini belum berjalan seperti yang diharapkan. Rasa ketidakpuasan ini tercermin, misalnya dengan diusulkannya asas jurdil (jujur dan adil) di samping asas luber (langsung, umum, bebas, rahasia) yang sudah ada.

Pendapat tersebut tentu saja dapat kita terima, rasa ketidakpuasan merupakan cikal bakal yang menyebabkan banyaknya alasan masyarakat untuk mengikuti aliran golput, alasan yang paling utama adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap para kandidat dari pempimpin mereka yang seolah-olah hanya memperebutkan kekuasaan dari suatu sistem politik.

Seperti diketahui, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu muncul usulan untuk menetapkan ancaman hukuman penjara satu tahun atau denda maksimal Rp 10 juta bagi siapa saja yang menganjurkan untuk tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilu. Dan bahkan untuk saat ini telah di tetapkan fatwa oleh MUI bahwa golongan putih itu haram.

Masalah yang dihadapi sekarang adalah kenapa banyaknya pengikut aliran golput, yang tentu saja bukan merupakan solusi konkrit untuk memilih seorang pemimpin, atas dasar apa mereka yang memilih golongan putih.


Kondisi sekarang ini, tidak relevan lagi hanya menyalahkannya pada partai politik saja atas rendahnya minat masyarakat untuk mengikuti pemilihan umum.

Kalau pada beberapa pilkada terdapat angka golput sampai 40 persen, maka hal itu sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan

Dalam berbagai pilkada terakhir, seperti di Jawa Barat, Sumut dan Jateng, angka golput memang tinggi.

Angka golput dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah 2008 mencapai 45,25 persen, sementara dalam pilkada gubernur dan wakil gubernur Sumut mencapai 41 persen dan Jawa Barat mencapai 32,6 persen.

Ulasan penyebab tingginya angka golput itu bermunculan dari kalangan politisi dan pengamat, seperti calon kepala daerah yang diusung parpol kurang representatif, masyarakat kurang mendapatkan alternatif pilihan, KPU kurang melakukan sosialisasi dan masyarakat tidak antusias karena faktor kemiskinan yang makin parah.

Menurut Jeffrie yang juga anggota Dewan Penasehat Lembaga Kajian CSIS itu, di negara yang sangat maju demokrasinya, seperti Amerika Serikat, angka partisipasi masyarakat yang mengikuti pemilu kadang kala tidak lebih dari 50 persen.

Harus juga diingat bahwa golput atau tidak menggunakan hak pilih adalah hak setiap orang di negara yang menganut demokrasi,

Karena itu, angka golput yang tinggi dalam pilkada tidak perlu terlalu dikhawatirkan serta tidak relevan lagi menyalahkannya hanya pada partai politik saja.

Seperti diketahui, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu muncul usulan untuk menetapkan ancaman hukuman penjara satu tahun atau denda maksimal Rp 10 juta bagi siapa saja yang menganjurkan untuk tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilu.

Senada dengan itu, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) juga menilai larangan sebagai tidak masuk akal. "Selain bertentangan dengan akal sehat, hal itu juga bertentangan dengan prinsip demokrasi," ujarnya di Jakarta. "Seharusnya, yang dilakukan itu adalah menjamin hak untuk memilih, mengkampanyekan atau menganjurkan golput melalui aturan di UU Pemilu, bukan justru memberi sanksi hukum," ujarnya.

Mereka yang memilih golput itu hanyalah kalangan terpelajar di kota-kota besar, sementara masyarakat desa yang jumlahnya mencapai di atas 80 persen lebih banyak yang menggunakan haknya. Pemerintah harus bisa dan berani menunjukkan ke masyrakat besarnya golput yang ada. Di AS jumlah pemilih yang menggunakan haknya hanya sekitar 40 persen, sedangkan sisanya 60 persen tidak menggunakan haknya (golput).

Mengapa ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya? Ada banyak alasan, sepuluh diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Alasan Teknis. Misalnya ia tidak terdaftar sebagai pemilih atau terdaftar tapi tidak punya kartu suara. Ini mutlak kesalahan panitia. Termasuk orang meninggal yang masih terdaftar atau bayi yang sudah terdaftar atau orang yang terdaftar dua kali.
2. Alasan pragmatis. Ia ingin mencoblos sebenarnya, tapi tidak mau atau sulit karena sedang berada diluar kota sehingga tidak bisa mendatangi TPS, atau kerja sepanjang hari meski hari libur, atau sedang sakit.
3. Alasan pribadi. Ia tidak punya calon yang betul-betul sesuai dengan keinginan hatinya. Ia tidak punya calon yang bersih sikap dan karir politiknya, bersih perilakunya, bersih asal dan penggunaan hartanya serta bersih keluarganya. Ia anggap semua calon bermasalah dan yakin semua-muanya hanya akan memanipulasi janji-janji demi keuntungan pribadi dan golongannya.
4. Alasan tidak adanya “calon musuh”. Bila ia mempunyai “calon yang harus disingkirkan”, ia akan memilih calon lainnya semata-mata agar calon yang dibencinya tidak menang. Bila ia tidak mempunyai calon yang dibenci, ia akan golput. Dalam pilkada Jawa Tengah, fenomena “calon hitam” ini masih ada, misalnya “asal bukan bambang” atau “asal bukan bibit”.
5. Alasan politis. Ia tidak yakin pemilihan langsung gubernur akan berdampak pada perbaikan mutu pemimpin dan kualitas layanan pemerintah terhadap warganya. Baginya, pemilihan langsung gubernur hanya membuang-buang energi, biaya, dan waktu, sedangkan dampaknya terhadap masyarakat dan kehidupan demokratis umumnya adalah nol besar. Ia lebih suka gubernur dipilih langsung oleh presiden seperti sebelumnya. Pendapat ini bahkan diamini oleh salah seorang calon wakil gubernur.
6. Alasan patron politis. Ia anggota atau simpatisan partai politik yang tidak mempunyai calon atau partainya menyatakan bahwa anggotanya bebas memilih. Termasuk dalam hal ini adalah para tokoh agama atau tokoh masyarakat yang golput. Meski tidak menyerukan golput secara terang-terangan, masyarakat yang meneladaninya lebih suka untuk mengikuti jejaknya.
7. Alasan ideologis. Ia yakin bahwa demokrasi adalah sistem politik yang berasal dari Barat dan tidak sesuai dengan keyakinan atau agama yang dianutnya, sehingga ia menentang bentuk turunan dari demokrasi tersebut, termasuk pemilihan pemimpin. Jadi bukan calonnya atau teknisnya yang ditentang, melainkan sistem demokrasinya yang ia anggap tidak sesuai dengan ideologinya. Pendapat ini lebih sering disuarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
8. Alasan sakit hati. Ia korban buruknya pelayanan pemerintah sebelumnya dan tidak yakin pemilihan langsung akan memperbaiki kualitas pemerintahan. Misalnya korban banjir , korban gempa bumi, tanah longsor dan sebagainya yang sudah muak dengan janji-janji para petinggi negeri.
9. Alasan gagalnya tim sukses bekerja. Tim sukses hanya bekerja asal-asalan, bervisi cupet untuk meraih tujuan pendek, menggunakan kampanye yang asal-asalan, tradisional, konvensional, tidak mendidik bahkan kampungan. Ini juga didukung minimnya dana kampanye, keterbatasan sumber daya manusia dan limit waktu. Namun harus diingat, membentuk pemimpin tidak semudah membeli ratusan slot iklan atau ribuan rim stiker. Membentuk pemimpin lebih luas dan lebih mahal dan lebih lama daripada itu semua.
10. Tidak ada alasan. Ini alasan yang tidak rasional, semau gue alias nyentrik bin ngawur.

Mungkin pada point yang ketiga yang menyebabkan banyaknya para pengikut aliran golput, tidak puasnya hati akan kandidat yang ada, yang hanya memntingkan kekuasaan pada suatu system. Sistem yang sengaja dikloning oleh penguasa untuk melanggengkan tirani mereka.




Golput itu lahir, dia bukanlah sebuah dosa politik meskipun kita tahu bahwa sikap ini tidak bisa memberikan sebuah solusi konkrit. Yang harus kita pahami adalah bahwa sikap seperti ini adalah sebuah indikasi bahwa tidak semua masyarakat sepakat dengan sistem yang berkembang. Inilah sebuah jeweran politis terhadap sistem yang tidak bisa kita lepaskan dari protes politik yang tengah berkecamuk saat ini. Jika difikirkan secra cerdas, gerakan ini akan sangat memiliki keterkaitan terhadap proses legitimasi sistem dan penguasa yang ada. Dan jika kita cerdas juga menyikapinya, maka dari sinilah akan dicari irisan-irisannya sehingga muncul poin-poin solusi konkret. Selama golongan ini tidak disikapi secara cerdas, hanya dianggap kaum-kaum marginal politis, maka selamanya pula sistem yang berekembang tidak akan bersifat populis.





[dikutip dari berbagai sumber]

Senin, 16 Maret 2009

Selamat Jalan Ford Sonic '93

Selamat jalan ford sonic ’93. Kata-kata itu yang ada di dalam hati gw waktu ada kabar dari nyokap kalo mobil udah dijual. Sedih banget rasanya, karena dengan mobil itu banyak banget yang udah gw alamin, dari memperdalam kemahiran gw dalam mengemudikan mobil sampe bisa kaya sekarang. Dimobil itu juga banyak kenangannya, dari gw nabrak belakang rumah waktu parkir, dimarahin nyokap sama bokap, pokoknya ada semua deh disana. Dari beberapa mobil yang pernah ada, Cuma itu yang paling berkesan. Dia bisa melewati berbagai rintangan jalan, pernah juga samper berangkat ke Surabaya. Pokoknya ga ada yang ngalahin deh, mobil-mobil baru yang lain aja ga ada yang berani sampe segitunya.
Selamat jalan ford sonic ’93, semoga kau bahagia dengan tuan-mu yang lain disana.